Definisi ‘perang’
Sebelum kita masuk dan membahas mengenai perang yang dibenarkan, setiap kita harus terlebih dahulu mengerti tentang definisi yang benar mengenai arti ‘perang’. Perang berarti: “War defined as a state of konflik between two or more sovereign nations carried on by force of arms.” (John A. McHugh, O.P. dan Charles J. Callan, O.P., Moral teology: A Complete Course, vol. 1, 545). Melihat lebih teliti mengenai definisi ‘perang’ yang telah didefinisikan tsb, perang haruslah menyangkut konflik antara dua negara atau lebih — yang dikontraskan dengan konflik laju seperti ‘border skirmishes‘, atau konflik-konflik yang sifatnya sementara. Perang harus melibatkan negara yang berkuasa, di mana peraturan sipil dilanggar dan di mana terjadi demonstrasi-demonstrasi. Juga, (perang harus melibatkan) suatu negara yang berjuang melawan negara lain — dan bukan untuk seseorang yang sifatnya individu ataupun untuk suatu kelompok di dalam negara yang bersangkutan. ‘Force of arms‘ mengecualikan beberapa hal, misalnya embargo dagang ataupun blokade-blokade. Ini mencapai landasan yang mendasari suatu langkah peperangan.
Asal mula ‘teori perang yang diperbolehkan‘
Sebagian besar kaum intelektual, filosof, dan/ataupun teolog sependapat bahwa “St. Agustinus adalah pencetus teori perang yang diperbolehkan.” (The New Catholic Encyclopedia vol. 14. “Morality of war,” oleh R.A. McCormick, 803). Bila suatu masalah menyangkut pembelaan diri yang bersifat ‘pribadi’, St.Agustinus menegaskan bahwa: pembelaan nyawa sendiri (own life) dan properti tidak akan dapat dan tidak pernah dapat membenarkan pembunuhan terhadap sesama. Kasih, etika, dan moral Kristen adalah motivasi yang mendasari pernyataan St.Agustinus tersebut. Tetapi bila suatu masalah menyangkut kenegaraan, suatu negara mempunyai obligasi untuk me-maintain keamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Obligasi inilah yang mendasari suatu negara mempunyai hak untuk mendeklarasikan peperangan. St. Thomas Aquinas, teolog dan filosof terbesar di dalam sejarah manusia berkata, “The natural order conducive to peace among mortals demands that the power to declare and counsel war should be in the hands of those who hold the supreme authority.” (Summa teologiae, Vol. 3, IiaIIaeQQ. 1-148) Seluruh rakyat di bawah naungan suatu negara wajib menurut pada segala peraturan yang ditetapkan oleh pemerintahan, kecuali mengenai hal-hal yang bertentangan dengan ‘Hukum Allah’. Bagi St. Agustinus, satu-satunya alasan yang dapat membenarkan suatu peperangan adalah untuk membela suatu bangsa dengan tujuan kedamaian — kedamaian yang terancam oleh kehancuran yang serius. Dia berkata, “A just war is wont to be described as one that avenges wrongs inflicted by its subjects, or to restore what it has seized unjustly.” (ibid.). Motivasi bagi suatu peperangan sangatlah penting bagi St. Agustinus. Dia berkata, “The passion for inflicting harm, the cruel thrist for vengeance, an unspecific and relentless spirit, the fever of revolt, the lust of power, and such things, all these are rightly condemned in war.” (Ibid.). St. Agustinus menekankan bahwa ide untuk merestorasi keamanan haruslah menjadi dasar dan motivasi bagi perang. Dia berkata, “We do not seek peace in order to be at war, but we go to war that we may have peace. Be peaceful, therefore, in warring, so that you may vanquish those whom you war against, and bring them to the prosperity of peace.” (Ibid.). Dari pada itu, St. Agustinus berpendapat bahwa “peperangan terbatas oleh intensi (maksud), otorias dan cara menerapkannya.” (New Catholic Encyclopedia, 803)
Pengembangannya oleh St. Thomas Aquinas dan di abad pertengahan
Penegasan dan penjelasan mengenai teori perang yang dibolehkan diberikan oleh St. Thomas Aquinas, teolog and filosof yang lahir pada abad pertengahan, yang dikenal sebagai “Angelic Doctor of the Church“. Dia menegaskan pernyataan St. Augustinus mengenai ‘perang’ dan menambahkan sedikit penjelasan kepadanya. Dia mengambil cara pemikiran yang sama untuk memecahkan argumen mengenai topik ini dengan cara membagi tiga alasan yang wajib untuk perang yang diperbolehkan: 1) ‘authorized authority‘, 2) sebab yang adil, dan 3) motivasi yang benar. Di dalam membahas mengenai siapa yang mempunyai hak untuk mendeklarasikan suatu peperangan, St. Thomas menekankan bahwa otoritas yang mempunyai kewajiban akan kesejahteraan rakyatnya-lah yang wajib untuk mempunyai tugas ini. Hanya mereka yang dapat menyatakan deklarasi perang. St. Thomas mengkonsiderasikan alasan-alasan, “bagi mereka yang menyerang, haruslah diserang karena mereka bertanggung jawab akan suatu kesalahan.” (Aquinas, 1354). Pada akhirnya, St. Thomas mendiskusikan mengenai arti ‘niat yang benar’ untuk dasar peperangan. Menurutnya, hanya dua kemungkinan: 1) untuk mengemban kebaikan, atau, 2) untuk menghidari kehancuran. Garis dasar argumen-argumen ini dan merupakan yang terpenting untuk kontribusinya kepada teori St.Agustinus, “would appear to consist in his stress on the natural law.” (New Catholic Encyclopedia, 803.)
Abad pertengahan diduduki oleh kebanyakan mereka yang membenarkan peperangan dan memperbaiki keamanan melalui ‘mercy‘ dan ‘justice‘. Sesudah St.Thomas, penulis-penulis dan banyak para teolog moral, seperti St. Ramon dari Penafort, hanyalah menerapkan posisi argumen ini. Kebanyakan dari mereka hanya memfokuskan kepada para otoritas spesifik kenegaraan dan penerapannya dengan ajaran St.Thomas, ‘alasan yang benar’ dan ‘motivasi yang benar’.
Perkembangan secara penuh mengenai teori ini
Meskipun St.Agustinus, yang memperkenalkan ide mengenai teori perang yang diperbolehkan, pada abad pertengahan lalu melanjutkan mengenai ’sifat dan syarat’-nya, sampai sekitar abad ke-16 dan ke-17 teori ini belum menjadi lengkap dan selesai, termasuk mengenai syarat yang dibenarkan untuk menyatakan suatu peperangan. Dua nama yang sangat penting untuk penyelesaian mengenai teori ini adalah Victoria dan Suarez. Fr. Conway, SJ, menyaring ajaran mereka. Pertentangan dibagi menjadi dua kelas: 1) penyerangan bersenjata kepada suatu negara yang aman, dan, 2) penyerangan bersenjata karena perbuatan-perbuatan yang bersifat menghancurkan dan mencederakan. Kelas yang pertama adalah respon bersenjata terhadap mereka yang bersenjata — ini dinamakan “defensive war“. Peperangan tipe ini dikategorikan dari kelas yang kedua, yaitu respon bersenjata terhadap mereka yang membuat kecederaan ataupun kehancuran disebut sebagai ‘offensive‘ ataupun ‘peperangan agresif’. Menurut Victoria dan Suarez, ‘defensive war‘ memerlukan “no special moral justification.” (Ibid.). Keduanya melihat respon bersenjata ini sebagai perbuatan yang tak berencana (involuntary) terhadap suatu negara. Di sisi lain, menurut keduanya, ‘peperangan agresif’ perlu untuk ‘dibenarkan’. Problem yang timbul di sini adalah: bagi Kristen yang menginginkan ‘kasih’ dan ‘kedamaian’, tetapi meresponinya dengan kematiaan dan kehancuran? Jadi, tujuan dari kondisi-kondisi ini adalah untuk para Kristiani yang meresponi perbuatan/serangan-serangan yang menghancurkan, tetapi tetap memelihara Christian values. Jadi bagi mereka, kondisi bagi perang yang dapat dibenarkan hanya dapat digunakan kepada ‘aggressive wars‘. Tiga syarat-syarat St. Thomas digunakan oleh teori mereka. Tetapi mereka menambahkan dua hal lagi: 1) Peperangan haruslah sebagai jalan dan upaya yang terakhir; dan 2) peperangan tidak boleh membunuh dan mengorbankan yang tidak bersalah (atau, in ‘a proper manner’).
Sebelum kita masuk dan membahas mengenai perang yang dibenarkan, setiap kita harus terlebih dahulu mengerti tentang definisi yang benar mengenai arti ‘perang’. Perang berarti: “War defined as a state of konflik between two or more sovereign nations carried on by force of arms.” (John A. McHugh, O.P. dan Charles J. Callan, O.P., Moral teology: A Complete Course, vol. 1, 545). Melihat lebih teliti mengenai definisi ‘perang’ yang telah didefinisikan tsb, perang haruslah menyangkut konflik antara dua negara atau lebih — yang dikontraskan dengan konflik laju seperti ‘border skirmishes‘, atau konflik-konflik yang sifatnya sementara. Perang harus melibatkan negara yang berkuasa, di mana peraturan sipil dilanggar dan di mana terjadi demonstrasi-demonstrasi. Juga, (perang harus melibatkan) suatu negara yang berjuang melawan negara lain — dan bukan untuk seseorang yang sifatnya individu ataupun untuk suatu kelompok di dalam negara yang bersangkutan. ‘Force of arms‘ mengecualikan beberapa hal, misalnya embargo dagang ataupun blokade-blokade. Ini mencapai landasan yang mendasari suatu langkah peperangan.
Asal mula ‘teori perang yang diperbolehkan‘
Sebagian besar kaum intelektual, filosof, dan/ataupun teolog sependapat bahwa “St. Agustinus adalah pencetus teori perang yang diperbolehkan.” (The New Catholic Encyclopedia vol. 14. “Morality of war,” oleh R.A. McCormick, 803). Bila suatu masalah menyangkut pembelaan diri yang bersifat ‘pribadi’, St.Agustinus menegaskan bahwa: pembelaan nyawa sendiri (own life) dan properti tidak akan dapat dan tidak pernah dapat membenarkan pembunuhan terhadap sesama. Kasih, etika, dan moral Kristen adalah motivasi yang mendasari pernyataan St.Agustinus tersebut. Tetapi bila suatu masalah menyangkut kenegaraan, suatu negara mempunyai obligasi untuk me-maintain keamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Obligasi inilah yang mendasari suatu negara mempunyai hak untuk mendeklarasikan peperangan. St. Thomas Aquinas, teolog dan filosof terbesar di dalam sejarah manusia berkata, “The natural order conducive to peace among mortals demands that the power to declare and counsel war should be in the hands of those who hold the supreme authority.” (Summa teologiae, Vol. 3, IiaIIaeQQ. 1-148) Seluruh rakyat di bawah naungan suatu negara wajib menurut pada segala peraturan yang ditetapkan oleh pemerintahan, kecuali mengenai hal-hal yang bertentangan dengan ‘Hukum Allah’. Bagi St. Agustinus, satu-satunya alasan yang dapat membenarkan suatu peperangan adalah untuk membela suatu bangsa dengan tujuan kedamaian — kedamaian yang terancam oleh kehancuran yang serius. Dia berkata, “A just war is wont to be described as one that avenges wrongs inflicted by its subjects, or to restore what it has seized unjustly.” (ibid.). Motivasi bagi suatu peperangan sangatlah penting bagi St. Agustinus. Dia berkata, “The passion for inflicting harm, the cruel thrist for vengeance, an unspecific and relentless spirit, the fever of revolt, the lust of power, and such things, all these are rightly condemned in war.” (Ibid.). St. Agustinus menekankan bahwa ide untuk merestorasi keamanan haruslah menjadi dasar dan motivasi bagi perang. Dia berkata, “We do not seek peace in order to be at war, but we go to war that we may have peace. Be peaceful, therefore, in warring, so that you may vanquish those whom you war against, and bring them to the prosperity of peace.” (Ibid.). Dari pada itu, St. Agustinus berpendapat bahwa “peperangan terbatas oleh intensi (maksud), otorias dan cara menerapkannya.” (New Catholic Encyclopedia, 803)
Pengembangannya oleh St. Thomas Aquinas dan di abad pertengahan
Penegasan dan penjelasan mengenai teori perang yang dibolehkan diberikan oleh St. Thomas Aquinas, teolog and filosof yang lahir pada abad pertengahan, yang dikenal sebagai “Angelic Doctor of the Church“. Dia menegaskan pernyataan St. Augustinus mengenai ‘perang’ dan menambahkan sedikit penjelasan kepadanya. Dia mengambil cara pemikiran yang sama untuk memecahkan argumen mengenai topik ini dengan cara membagi tiga alasan yang wajib untuk perang yang diperbolehkan: 1) ‘authorized authority‘, 2) sebab yang adil, dan 3) motivasi yang benar. Di dalam membahas mengenai siapa yang mempunyai hak untuk mendeklarasikan suatu peperangan, St. Thomas menekankan bahwa otoritas yang mempunyai kewajiban akan kesejahteraan rakyatnya-lah yang wajib untuk mempunyai tugas ini. Hanya mereka yang dapat menyatakan deklarasi perang. St. Thomas mengkonsiderasikan alasan-alasan, “bagi mereka yang menyerang, haruslah diserang karena mereka bertanggung jawab akan suatu kesalahan.” (Aquinas, 1354). Pada akhirnya, St. Thomas mendiskusikan mengenai arti ‘niat yang benar’ untuk dasar peperangan. Menurutnya, hanya dua kemungkinan: 1) untuk mengemban kebaikan, atau, 2) untuk menghidari kehancuran. Garis dasar argumen-argumen ini dan merupakan yang terpenting untuk kontribusinya kepada teori St.Agustinus, “would appear to consist in his stress on the natural law.” (New Catholic Encyclopedia, 803.)
Abad pertengahan diduduki oleh kebanyakan mereka yang membenarkan peperangan dan memperbaiki keamanan melalui ‘mercy‘ dan ‘justice‘. Sesudah St.Thomas, penulis-penulis dan banyak para teolog moral, seperti St. Ramon dari Penafort, hanyalah menerapkan posisi argumen ini. Kebanyakan dari mereka hanya memfokuskan kepada para otoritas spesifik kenegaraan dan penerapannya dengan ajaran St.Thomas, ‘alasan yang benar’ dan ‘motivasi yang benar’.
Perkembangan secara penuh mengenai teori ini
Meskipun St.Agustinus, yang memperkenalkan ide mengenai teori perang yang diperbolehkan, pada abad pertengahan lalu melanjutkan mengenai ’sifat dan syarat’-nya, sampai sekitar abad ke-16 dan ke-17 teori ini belum menjadi lengkap dan selesai, termasuk mengenai syarat yang dibenarkan untuk menyatakan suatu peperangan. Dua nama yang sangat penting untuk penyelesaian mengenai teori ini adalah Victoria dan Suarez. Fr. Conway, SJ, menyaring ajaran mereka. Pertentangan dibagi menjadi dua kelas: 1) penyerangan bersenjata kepada suatu negara yang aman, dan, 2) penyerangan bersenjata karena perbuatan-perbuatan yang bersifat menghancurkan dan mencederakan. Kelas yang pertama adalah respon bersenjata terhadap mereka yang bersenjata — ini dinamakan “defensive war“. Peperangan tipe ini dikategorikan dari kelas yang kedua, yaitu respon bersenjata terhadap mereka yang membuat kecederaan ataupun kehancuran disebut sebagai ‘offensive‘ ataupun ‘peperangan agresif’. Menurut Victoria dan Suarez, ‘defensive war‘ memerlukan “no special moral justification.” (Ibid.). Keduanya melihat respon bersenjata ini sebagai perbuatan yang tak berencana (involuntary) terhadap suatu negara. Di sisi lain, menurut keduanya, ‘peperangan agresif’ perlu untuk ‘dibenarkan’. Problem yang timbul di sini adalah: bagi Kristen yang menginginkan ‘kasih’ dan ‘kedamaian’, tetapi meresponinya dengan kematiaan dan kehancuran? Jadi, tujuan dari kondisi-kondisi ini adalah untuk para Kristiani yang meresponi perbuatan/serangan-serangan yang menghancurkan, tetapi tetap memelihara Christian values. Jadi bagi mereka, kondisi bagi perang yang dapat dibenarkan hanya dapat digunakan kepada ‘aggressive wars‘. Tiga syarat-syarat St. Thomas digunakan oleh teori mereka. Tetapi mereka menambahkan dua hal lagi: 1) Peperangan haruslah sebagai jalan dan upaya yang terakhir; dan 2) peperangan tidak boleh membunuh dan mengorbankan yang tidak bersalah (atau, in ‘a proper manner’).
Seiring dengan syarat-syarat yang telah digarisbawahi pada Bagian Pertama, para teolog moral mencoba untuk mendefinisikan teori ini untuk menjadikan lebih eksplisit. Menyangkut tindakan-tindakan yang menghancurkan juga diajarkan: “only an injury so grave that It outweighs the risks and losses of war is a justification for making war“, diiringi dengan prinsip ‘double effect‘. (McHugh, 549) Bila tindakan yang ’sangat’ menghancurkan itu tidak ada maka — dengan dasar kasih dan ketentraman — setiap negara harus mentoleransi tindakan-tindakan yang bersangkutan dengan (penghancuran) itu, walaupun tindakan itu memang sesuatu yang tidak adil. Apakah syarat-syarat yang dapat menjadikan perang diperbolehkan? “Grave injury to the honor of a nation・to the natural right of the nation・to the rights of the nation under positive law.” (Aquinas, 1353). Contoh: untuk ‘injury to honor’ adalah penghinaan terhadap suatu pemerintahan atau duta besar; ‘natural right injuries’ termasuk berdirinya atau adanya negara, properti, ataupun kebebasan di dalam negara yang terlibat; ‘violations of positive law’ termasuk pelanggaran perjanjian international ataupun ‘treaties‘. Penghancuran yang dilakukan terhadap bangsa lain dapat menjadi dasar untuk memasuki peperangan, terutama bila suatu negara bersekutu — ataupun didasarkan dengan kasih — untuk melindungi rakyatnya dari serangan agresif negara lain yang lebih kuat.
Ide perang telah diajarkan: perang haruslah melibatkan ‘proper manner‘, yang berarti bahwa tidak semua rakyat diwajibkan untuk berpartisipasi di dalam peperangan. Tiga area utama di dalam diskusi ini adalah: perbuatan kejam yang dilakukan kepada 1) agama, 2) hak asasi manusia 3) properti. Tempat-tempat suci seperti Gereja ataupun Masjid tidak diperbolehkan untuk diserang kecuali di dalam kondisi ‘mengharuskan’ yang menyangkut hal militer. Gereja, contohnya, dapat dipakai untuk menjadi tujuan militer dan dengan itu penyerangan bisa terjadi. Juga mungkin terjadi bila misalnya suatu Masjid bersebelahan dengan target militer dan ‘unintentionally‘ terharcurkan di dalam suatu penyerangan. Di luar pengecualian-pengecualian ini tempat-tempat suci ibadah tidak boleh dilibatkan.
Manusia/rakyat di dalam peperangan dapat dibagi menjadi beberapa kategori. ‘Combatans‘ adalah “mereka yang terlibat langsung di dalam promosi perang.” (ibid, 556). ‘Combatan langsung’ adalah prajurit perang. ‘Combatan tidak langsung’ adalah prajurit tidak bersenjata, termasuk supir pengantar supplies, pembuat senjata, dll. ‘Noncombatants‘ adalah mereka yang menjadi anggota dari negara lawan termasuk para ‘chaplain‘, paramedis, dan rakyat tak bersenjata yang tidak turut berperang. Juga ada ‘orang menengah’, yang adalah mereka yang tidak terlibat sama sekali di dalam konflik dan peperangan tersebut. Pembunuhan atau penyederaan ‘combatan‘ lawan jatuh pada ide hukum alam sebagai ‘bela diri’. Pembunuhan tidak langsung atau tidak disengaja terhadap ‘non-combatants‘ ataupun ‘orang menengah’ dapat dibolehkan tergantung dari prinsip dari teori efek ganda (’double effect‘). Tapi ditegaskan sekali lagi bahwa pembunuhan ini haruslah tidak disengaja ataupun sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pembunuhan secara langsung kepada orang-orang di luar prajurit perang adalah pembunuhan imoral, yaitu bila dilakukan secara sengaja atau dilakukan padahal dapat dihindarkan.
Peralatan ataupun properti militer lawan dapat dihancurkan sama dengan seseorang dapat membela diri terhadap penyerangan yang agresif. Lahan ataupun properti publik (bukan-militer) dapat diduduki ataupun dapat dipindahkan bila memang diperlukan. Properti pribadi yang dapat maupun tidak bergerak harus tetap dihormati dan dapat digunakan bila sangat dibutuhkan di dalam kondisi khusus.
Argumentasi terhadap teori perang yang diperbolehkan
Kita telah melihat dari pemikiran St.Agustinus yang berargumentasi dari hukum alam mengenai perdamaian sampai kepada hak sang otoritas negara untuk mendeklarasikan dan menetapkan peperangan. St. Thomas juga melihat keabsahaan sesuatu peperangan di dalam susunan alam tapi sebih menekankan kepada kebaikan rakyat secara menyeluruh. Ayat-ayat dari kitab suci digunakan untuk mendukung teori perang yang dibenarkan ini, namun St.Thomas mencantumkan komentar lain pada para awam bahwa, “If the Christian Religion forbad war altogether, those who sought salutary advice in the Gospel would rather have been counseled to cast aside their arms, and to give up soldiering altogether ・If he (St.Yohannes pembaptis) commanded them to be content with their pay, he did not forbid soldiering.” (Aquinas, 1353) St. Thomas berargumentasi bahwa St. Paulus, sudah menegaskan, untuk memberikan kepada mereka otoritas untuk menghukum dengan menggunakan pedang kepada orang-orang yang mengganggu dan menghancurkan keutuhan dan kesejahteraan yang berasal dari musuh-musuh dalam (intrinsik). Oleh sebab itu, tugas mereka juga untuk menggunakan senjata untuk menjaga atau membela diri dari orang-orang yang menggangu dan menghancurkan keutuhan dan kesejahteraan yang berasal dari musuh-musuh luar (ekstrinsik).
St. Thomas juga berargumentasi kepada banyak orang yang menentang perang secara menyeluruh. Argumentasi pertama mengatakan: bahwa Allah hanya menghukum pendosa. Oleh sebab itu Tuhan Yesus berkata kepada St. Petrus bahwa mereka yang menggunakan pedang akan dimusnahkan oleh pedang, oleh karena itu perang adalah tidak diperbolehkan di dalam segala situasi. Untuk menjawab argumentasi ini, St.Thomas mengutip St. Augustinus yang berkata bahwa membawa pedang haruslah dimengerti sebagai mempersenjatakan diri sendiri untuk melukai/membunuh sesama tanpa ada persetujuan dari otoritas. Padahal di dalam peperangan, pedang digunakan digunakan sebagai alat perlindungan di bawah persetujuan otoritas. Argumen kedua menyangkut dengan hukum Allah untuk menolak kejahatan (Evil). St. Agustinus menjelaskan bahwa dengan mengatakan hukum Allah, bukan berarti hanya untuk disimpan di dalam benak tetapi juga di dalam praktis kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, kadang memang dibutuhkan, St.Thomas berkata, untuk bertindak berlainan untuk tujuan kebaikan dan kesejahteraan orang banyak. Mengutip referensi St.Agustinus, ada saat harus menghukum manusia untuk tujuan kebaikan, dengan hal yang bertentangan dengan kemauan orang yang bersangkutan untuk melepaskan dia dari belenggu dosa. Akhirnya argumtenasi yang terakhir adalah untuk menaruh di depan bahwa dosa bertentangan dengan kebaikan. Oleh karena perdamaian adalah kebaikan dan peperangan adalah kontradiksi dengannya, maka perang pastilah dosa. St.Thomas menjawab argumentasi terakhir ini hampir sama dengan pemikiran St. Agustinus bahwa tujuan dari peperangan yang diperbolehkan adalah untuk perdamaian dan ketentraman. Oleh sebab itu, peperangan di dalam konteks ‘yang diperbolehkan’ tidak berkontradiksi samasekali dengan kebaikan (virtue).
Penulis yang lebih modern memberikan contoh ketika Melkisedek memberkati Abraham setelah dia kembali dari peperangan melawan empat raja dengan membawa kemenangan (Kej. 15: 18-20) — ini adalah salah satu contoh dari peperangan sesuai dengan ‘hukum alam’. (McHugh, 546) Allah di dalam Torah Musa “sering kali memerintakan dan membenarkan peperangan, seperti yang dapat kita lihat di dalam buku Keluaran dan diikuti oleh buku-buku di bagian-bagian lain.” (Ibid.). Di dalam Kitab Perjanjian Baru seorang prajurit dipuji oleh Tuhan kita (Matius 8,10). Tuhan kita menggunakan kekerasan fisik untuk melawan mereka yang melakukan kejahatan (Yoh 2, 15). Kornelius seorang prajurit dipanggil ‘taat’ dan orang yang takut kepada Allah (Kis 10,2). St. Paulus memuji para tentara di Perjanjian Lama seperti Gideon, Barac, Samson, dll (Heb. 11: 32-34). Semua ayat-ayat ini menyatakan bahwa Allah membolehkan peperangan di dalam kondisi-kondisi yang telah ditentukan-Nya.
Mengenai Gereja, penulis yang sama berkata bahwa Gereja tidak pernah mengutuk perang. Gereja selalu menyarankan dan menawarkan kedamaian dan berupaya untuk mengurangi kejahatan dan peperangan. Deklarasi resmi, dari Bapa-Bapa dan Doctor-Doctor Gereja menyatakan bahwa tidak semua peperangan adalah dosa. Gereja bahkan pernah mendukung peperangan seperti perang salib dan menyetujui susunan militer. Prajurit seperti Martin of Tours dinyatakan sebagai ‘saint‘ atau orang kudus.
Di dalam diskusi mengenai hukum alam, penulis ini berargumentasi dari segi hak pribadi kemudian kepada hak kenegaraan. Semenjak seseorang yang dapat membela dirinya untuk melawan ketidakadilan yang mengancam nyawanya, begitu juga dengan suatu negara. Pribadi diperbolehkan untuk mencari keadilan di dalam kecederaan ataupun kehilangan, oleh sebab itu, pemerintahan pun dapat menggunakan kekerasan untuk mengusir negara lain yang menggangu ketentraman dan kedamaian bangsanya. Ini adalah sebagian, untuk tidak mengatakan semua, argumentasi mengenai peperangan yang diperbolehkan.
Ide perang telah diajarkan: perang haruslah melibatkan ‘proper manner‘, yang berarti bahwa tidak semua rakyat diwajibkan untuk berpartisipasi di dalam peperangan. Tiga area utama di dalam diskusi ini adalah: perbuatan kejam yang dilakukan kepada 1) agama, 2) hak asasi manusia 3) properti. Tempat-tempat suci seperti Gereja ataupun Masjid tidak diperbolehkan untuk diserang kecuali di dalam kondisi ‘mengharuskan’ yang menyangkut hal militer. Gereja, contohnya, dapat dipakai untuk menjadi tujuan militer dan dengan itu penyerangan bisa terjadi. Juga mungkin terjadi bila misalnya suatu Masjid bersebelahan dengan target militer dan ‘unintentionally‘ terharcurkan di dalam suatu penyerangan. Di luar pengecualian-pengecualian ini tempat-tempat suci ibadah tidak boleh dilibatkan.
Manusia/rakyat di dalam peperangan dapat dibagi menjadi beberapa kategori. ‘Combatans‘ adalah “mereka yang terlibat langsung di dalam promosi perang.” (ibid, 556). ‘Combatan langsung’ adalah prajurit perang. ‘Combatan tidak langsung’ adalah prajurit tidak bersenjata, termasuk supir pengantar supplies, pembuat senjata, dll. ‘Noncombatants‘ adalah mereka yang menjadi anggota dari negara lawan termasuk para ‘chaplain‘, paramedis, dan rakyat tak bersenjata yang tidak turut berperang. Juga ada ‘orang menengah’, yang adalah mereka yang tidak terlibat sama sekali di dalam konflik dan peperangan tersebut. Pembunuhan atau penyederaan ‘combatan‘ lawan jatuh pada ide hukum alam sebagai ‘bela diri’. Pembunuhan tidak langsung atau tidak disengaja terhadap ‘non-combatants‘ ataupun ‘orang menengah’ dapat dibolehkan tergantung dari prinsip dari teori efek ganda (’double effect‘). Tapi ditegaskan sekali lagi bahwa pembunuhan ini haruslah tidak disengaja ataupun sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pembunuhan secara langsung kepada orang-orang di luar prajurit perang adalah pembunuhan imoral, yaitu bila dilakukan secara sengaja atau dilakukan padahal dapat dihindarkan.
Peralatan ataupun properti militer lawan dapat dihancurkan sama dengan seseorang dapat membela diri terhadap penyerangan yang agresif. Lahan ataupun properti publik (bukan-militer) dapat diduduki ataupun dapat dipindahkan bila memang diperlukan. Properti pribadi yang dapat maupun tidak bergerak harus tetap dihormati dan dapat digunakan bila sangat dibutuhkan di dalam kondisi khusus.
Argumentasi terhadap teori perang yang diperbolehkan
Kita telah melihat dari pemikiran St.Agustinus yang berargumentasi dari hukum alam mengenai perdamaian sampai kepada hak sang otoritas negara untuk mendeklarasikan dan menetapkan peperangan. St. Thomas juga melihat keabsahaan sesuatu peperangan di dalam susunan alam tapi sebih menekankan kepada kebaikan rakyat secara menyeluruh. Ayat-ayat dari kitab suci digunakan untuk mendukung teori perang yang dibenarkan ini, namun St.Thomas mencantumkan komentar lain pada para awam bahwa, “If the Christian Religion forbad war altogether, those who sought salutary advice in the Gospel would rather have been counseled to cast aside their arms, and to give up soldiering altogether ・If he (St.Yohannes pembaptis) commanded them to be content with their pay, he did not forbid soldiering.” (Aquinas, 1353) St. Thomas berargumentasi bahwa St. Paulus, sudah menegaskan, untuk memberikan kepada mereka otoritas untuk menghukum dengan menggunakan pedang kepada orang-orang yang mengganggu dan menghancurkan keutuhan dan kesejahteraan yang berasal dari musuh-musuh dalam (intrinsik). Oleh sebab itu, tugas mereka juga untuk menggunakan senjata untuk menjaga atau membela diri dari orang-orang yang menggangu dan menghancurkan keutuhan dan kesejahteraan yang berasal dari musuh-musuh luar (ekstrinsik).
St. Thomas juga berargumentasi kepada banyak orang yang menentang perang secara menyeluruh. Argumentasi pertama mengatakan: bahwa Allah hanya menghukum pendosa. Oleh sebab itu Tuhan Yesus berkata kepada St. Petrus bahwa mereka yang menggunakan pedang akan dimusnahkan oleh pedang, oleh karena itu perang adalah tidak diperbolehkan di dalam segala situasi. Untuk menjawab argumentasi ini, St.Thomas mengutip St. Augustinus yang berkata bahwa membawa pedang haruslah dimengerti sebagai mempersenjatakan diri sendiri untuk melukai/membunuh sesama tanpa ada persetujuan dari otoritas. Padahal di dalam peperangan, pedang digunakan digunakan sebagai alat perlindungan di bawah persetujuan otoritas. Argumen kedua menyangkut dengan hukum Allah untuk menolak kejahatan (Evil). St. Agustinus menjelaskan bahwa dengan mengatakan hukum Allah, bukan berarti hanya untuk disimpan di dalam benak tetapi juga di dalam praktis kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, kadang memang dibutuhkan, St.Thomas berkata, untuk bertindak berlainan untuk tujuan kebaikan dan kesejahteraan orang banyak. Mengutip referensi St.Agustinus, ada saat harus menghukum manusia untuk tujuan kebaikan, dengan hal yang bertentangan dengan kemauan orang yang bersangkutan untuk melepaskan dia dari belenggu dosa. Akhirnya argumtenasi yang terakhir adalah untuk menaruh di depan bahwa dosa bertentangan dengan kebaikan. Oleh karena perdamaian adalah kebaikan dan peperangan adalah kontradiksi dengannya, maka perang pastilah dosa. St.Thomas menjawab argumentasi terakhir ini hampir sama dengan pemikiran St. Agustinus bahwa tujuan dari peperangan yang diperbolehkan adalah untuk perdamaian dan ketentraman. Oleh sebab itu, peperangan di dalam konteks ‘yang diperbolehkan’ tidak berkontradiksi samasekali dengan kebaikan (virtue).
Penulis yang lebih modern memberikan contoh ketika Melkisedek memberkati Abraham setelah dia kembali dari peperangan melawan empat raja dengan membawa kemenangan (Kej. 15: 18-20) — ini adalah salah satu contoh dari peperangan sesuai dengan ‘hukum alam’. (McHugh, 546) Allah di dalam Torah Musa “sering kali memerintakan dan membenarkan peperangan, seperti yang dapat kita lihat di dalam buku Keluaran dan diikuti oleh buku-buku di bagian-bagian lain.” (Ibid.). Di dalam Kitab Perjanjian Baru seorang prajurit dipuji oleh Tuhan kita (Matius 8,10). Tuhan kita menggunakan kekerasan fisik untuk melawan mereka yang melakukan kejahatan (Yoh 2, 15). Kornelius seorang prajurit dipanggil ‘taat’ dan orang yang takut kepada Allah (Kis 10,2). St. Paulus memuji para tentara di Perjanjian Lama seperti Gideon, Barac, Samson, dll (Heb. 11: 32-34). Semua ayat-ayat ini menyatakan bahwa Allah membolehkan peperangan di dalam kondisi-kondisi yang telah ditentukan-Nya.
Mengenai Gereja, penulis yang sama berkata bahwa Gereja tidak pernah mengutuk perang. Gereja selalu menyarankan dan menawarkan kedamaian dan berupaya untuk mengurangi kejahatan dan peperangan. Deklarasi resmi, dari Bapa-Bapa dan Doctor-Doctor Gereja menyatakan bahwa tidak semua peperangan adalah dosa. Gereja bahkan pernah mendukung peperangan seperti perang salib dan menyetujui susunan militer. Prajurit seperti Martin of Tours dinyatakan sebagai ‘saint‘ atau orang kudus.
Di dalam diskusi mengenai hukum alam, penulis ini berargumentasi dari segi hak pribadi kemudian kepada hak kenegaraan. Semenjak seseorang yang dapat membela dirinya untuk melawan ketidakadilan yang mengancam nyawanya, begitu juga dengan suatu negara. Pribadi diperbolehkan untuk mencari keadilan di dalam kecederaan ataupun kehilangan, oleh sebab itu, pemerintahan pun dapat menggunakan kekerasan untuk mengusir negara lain yang menggangu ketentraman dan kedamaian bangsanya. Ini adalah sebagian, untuk tidak mengatakan semua, argumentasi mengenai peperangan yang diperbolehkan.
0 komentar:
Posting Komentar